JADI begini, teman. Biar kata kami ini belasan tahun hidup di perantauan, khususnya di bumi Eropa, tak ada jaminan bahwa kami tahu semua. Bukan berarti lantas kami jadi ngeh dengan semua sisi budaya masyarakat setempat.
Cerita berawal dari pelajaran renang di sekolah Fatih (anak saya) di tahun ajaran 2015-2016. Kurikulum pendidikan di Norwegia menargetkan anak usia kelas 4 SD harus bisa berenang dan harus merasa aman dan tenang berada di air, bahkan di air dalam. Karena masuk dalam kurikulum, maka pelajaran renang ini gratis. Guru renangnya adalah ibu kepala sekolah. Keren, kan?
OK, singkat cerita, Fatih sudah bisa berenang sekarang. Sudah bisa mengapung dan bergerak nyaman di air, alhamdulillah.
Yang ingin saya ceritakan adalah kebiasaan orang Norwegia ketika habis berenang atau berolah raga di tempat umum.
Berdasarkan informasi dari Fatih, semua anak sehabis renang atau olah raga di sekolah, harus mandi di kamar mandi sekolah. Dan harus telanjang bulat!
Saya kaget waktu itu (meski tidak sekaget apa yang akan saya ceritakan selanjutnya).
Saya tanya, lalu Fatih gimana? Dia jawab bahwa dia mandi dengan teman-teman lelakinya, sambil tetap mengenakan celana dalam (sementara semua temannya “polosan” saja).
Saya tanya kenapa?
Ini jawaban Fatih, “Kan Bunda bilang, orang Islam dan orang Indonesia harus punya malu. Nggak boleh telanjang di depan umum. Ya aku bilang gitu ke guruku.”
Ternyata gurunya paham dan membolehkan. Syukurlah alasan itu bisa diterima.
***
Pelajaran renang itu hanya berlangsung enam bulan, karena di enam bulan selanjutnya adalah giliran kelas sebelah.
Maka supaya Fatih bisa tetap mengamalkan ilmu renang yang dia dapat di sekolah, saya dan suami bergantian mengajaknya seminggu sekali ke kolam renang umum milik Pemda Haugesund.
Beberapa waktu lalu adalah kali pertama kami mengunjungi kolam renang itu. Di bagian pendaftaran saya katakan bahwa yang akan berenang adalah Fatih. Saya hanya menemani.
Ibu petugas menunjuk pintu masuk terpisah untuk lelaki dan perempuan. Dan satu-satunya pintu masuk ke kolam renang adalah lewat kamar mandi.
Maka Fatih langsung menuju kamar mandi lelaki, saya ke sebelahnya untuk perempuan. Karena tidak akan renang, saya tentu tetap berpakaian lengkap. Hanya perlu melepas sepatu dan kaus kaki saja.
Ketika melewati kamar mandi, yang ada waktu itu adalah beberapa anak perempuan menjelang remaja yang sudah pakai baju renang. Mereka melihat saya. Aneh mungkin. Tapi saya berlalu saja karena memang tak ada keperluan di kamar mandi.
Sesi renang berlangsung seru selama sejam lebih. Waktunya pulang. Fatih bersiap mandi dan merawat dirinya sendiri di kamar mandi pria.
Saya, mau tak mau, harus melalui kamar mandi wanita lagi untuk bisa keluar.
Dan di situlah saya terkejut. Di ruang ganti yang jadi satu dengan kamar mandi, saya berpapasan dengan beberapa wanita dewasa dari usia dan ukuran berbeda. Mereka tampak seperti orang lokal. Dan para wanita itu dengan santai berdiri dan berlalu lalang tanpa sehelai benangpun!
Saya bagaikan anak ayam kehilangan induk, atau bagaikan ikan kehabisan air, atau entah apalah peribahasa yang sesuai untuk situasi itu.
Saya spontan menundukkan pandangan. Malu sekali rasanya meski sesama wanita. Saya berjalan cepat menuju pintu keluar, meski dari sudut mata saya merasa para wanita itu memandang saya dengan aneh. Siap ini wanita Asia berkerudung? Mungkin mereka berpikir kalau saya salah kostum.
Di pintu luar, sambil menunggu Fatih, saya membaca semua informasi yang tertera di dinding. Salah satunya berbunyi, “Ketika mandi tidak boleh berpakaian. Mandi harus telanjang.” Oh, ternyata betul kata Fatih dulu…
Laporkan iklan?
Dan ketika Fatih keluar, saya tanyakan bagaimana di dalam sana.
Katanya, “Aku bingung gimana cara nutupin depan belakangku, Bunda. Kan nggak boleh pakai celana renang juga. Tapi ya aku tutupin aja, soalnya aku malu.”
Dan kami pun pulang. Dalam benak saya harus mempersiapkan diri menyaksikan pemandangan itu lagi kalau kami berkunjung ke kolam renang lagi.
Meski sebagai wanita Asia dan wanita muslim saya menentang peraturan itu, tentu saya tak ada pilihan selain memaklumi saja. Ini negara Barat yang punya nilai dan kebiasaan sendiri tentang batas-batas aurat. Apa itu aurat pun mungkin tak pernah ada dalam kamus mereka. Mungkin lain kali saya perlu pakai kacamata kuda kalau ke sana lagi.
***
Saya sudah sering mendengar cerita dan pengalaman teman Indonesia yang dulu bekerja di resor pantai khusus untuk kaum nudist di Perancis Selatan. Beberapa teman Indonesia di Jerman, Belanda, dan Italia juga pernah cerita tentang tempat sauna dan spa di mana lelaki dan perempuan berendam bareng. Dan yang namanya di tempat sauna tentu saja harus duduk bersama di ruang beruap, tanpa busana.
Tapi tetap saja saya tak siap ketika berpapasan dengan wanita dewasa tanpa selembar benang, meski lokasinya adalah “tempat tertutup” untuk mereka. Tempat tertutup artinya adalah tempat mandi dan ganti pakaian khusus wanita.
Seperti saya bilang di atas, culture shock alias gegar budaya itu bisa terjadi kapan saja. Sebagai orang asing (atau lebih tepatnya pendatang), tentu saya harus bisa menyesuaikan diri dan maklum saja. Seperti halnya orang asing yang datang ke Indonesia. Sama saja, mereka juga harus mencoba paham, dan syukur-syukur bisa mengikuti kearifan setempat.
Banyak cara orang asing beradaptasi dengan tempat tinggal barunya. Ada yang melebur dan sekaligus menceburkan diri agar bisa menyatu (atau menyaru) dengan orang lokal. Baginya itu adalah identitas barunya.
Ada juga orang seperti kami yang berprinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. When in Rome, do as the Romans do.
Menjunjung dan menghargai, tanpa perlu kehilangan identitas asli dan kebiasaan baik yang kita bawa dari tanah kelahiran.
Tak susah, meski terkadang ada juga yang memandang sambil mengernyitkan dahi.
Tak apa. Yang penting kita tak melanggar peraturan dan tak merugikan apalagi menyakiti orang lain.
Identitas asli itu perlu tetap ada sepanjang hayat.
***
Jadi begitu cerita saya. Tak ada maksud apapun kecuali sekedar berbagi. Beginilah secuplik kebudayaan dan nilai yang dianut masyarakat tempat saya tinggal selama enam tahun belakangan ini.
Semoga berkenan.
Di Indonesia sendiri bagaimana sekarang?
Sumber : islampos.com